Metode Studi Al Hadist
Definisi Metode Penelitian Hadis Dan Ruang Lingkupnya
Metode penelitian didefinisikan sebagai
cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Maksudnya, kegiatan penelitian harus didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu
rasional dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga
terjangkau oleh penalaran manusia. Sistematis berarti proses yang digunakan
dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.
Adapun ruang lingkup penelitian hadis
adalah :
1. Penelitian/studi hadis, baik studi sanad maupun matan.
2. Penelitian hasil pemikiran terhadap hadis (kajian tokoh).
3. Penelitian persepsi hadis dalam masyarakat (living hadis).
B. Tujuan Penelitian Hadis
Setiap penelitian memiliki tujuan dan
kegunaan tertentu. Menurut Sugiyono (2008:5), secara umum tujuan penelitian ada
tiga macam yaitu bersifat penemuan, pembuktian, dan pengembangan. Penemuan berarti
data yang diperoleh dari penelitian itu merupakan data yang benar-benar baru
yang sebelumnya belum pernah diketahui. Pembuktian mengandung makna
bahwa data yang diperoleh itu digunakan untuk membuktikan adanya keragu-raguan
terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan pengembangan berarti
memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada.
Penelitian dalam hadis yang bersifat
penemuan misalnya menemukan metode memahami hadis secara mudah bagi masyarakat
awam. Penelitian hadis yang bersifat pembuktian misalnya membuktikan
keragu-raguan mengenai status hadis keutamaan membaca ayat kursi. Sedangkan
penelitian hadis yang bersifat pengembangan contohnya memperdalam pengetahuan
tentang pemikiran M. M. Azami dan Joseph Schacht terkait pembentukan sanad
hadis, atau pengembangan metode ‘ardl al-hadist ‘ala al-qur’an dalam
kajian kritik matan.
Disamping itu, aktifitas penelitian
hadis juga memiliki tujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti baik
dari sisi sanad ataupun matan. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis tersebut. Hadis yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat kesahihan suatu hadis tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pemenuhan syarat diperlukan karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran
Islam.[1]
C. Metode Penelitian Hadis
Dalam penelitian hadis (naqd
al-hadits) klasik, model penelitian diarahkan kepada dua segi: sanad
dan matan. Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan
melakukan langkah-langkah berikut ini:
- Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab
yang di dalamnya dikemukakan hadis tersebut secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing, kemudian untuk kepentingan kritik sanad, dijelaskan kwalitas
sanad dan para periwayatdari hadis yang bersangkutan.
- Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar
berarti menyertakan sanad-sanad untuk hadis tertentu, yang hadis itu pada
bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.
Dengan melakukan i’tibar,
diharapkan dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti,
demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan
oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-I’tibar adalah
untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya
pendukung (corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’
atau syahid.
- Mengkritisi pribadi periwayat serta metode periwayatannya
Ulama’ hadis sependapat bahwa ada dua
hal yang harus dikritisi pada diri pribadi periwayat hadis untuk diketahui
apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah
ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah ke’adilan dan kedhabitannya.
Ke’adilan berhubungan dengan kwalitas pribadi, sedangkan kedhabitannya
berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh
periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.
Terkait dengan pelacakan terhadap kebersambungan
sanad, hubungan kwalitas periwayat dan metode periwayatan sangat menentukan.
Periwayat yang tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat
dengan metode sami’na, misalnya, meski metode itu diakui ulama’ hadis
memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan lambang itu
adalah orang yang tidak tsiqoh, maka informasi yang dikemukakannya itu
tetap tidak dapat dipercaya. Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na
adalah orang yang tsiqoh, maka informasinya dapat dipercaya.
Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqoh
oleh ulama’ ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila dia menggunakan lambang
periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya bersambung. Tetapi,
bila menggunakan selain dua lambang tersebut, sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian
cacat).
- Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad yang
sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam sanad
adalah dengan melakukan studi komparatif terhadap seluruh sanad yang ada untuk
satu matan yang sama.
Sedangkan cara mengkritisi kemungkinan
terjadinya ‘illat yaitu dengan membanding-bandingkan semua sanad yang
ada untuk matan yang isinya semakna.[2]
Hadis yang mengandung syudzudz
(ke-syadz-an), oleh ulama’ disebut sebagai hadis syadz, sedangkan
lawan dari hadis syadz disebut hadis mahfuzh.[3]
- Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan (natijah)
harus disertakan pula argumen-argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat
disampaikan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadis yang
dilihat dari segi jumlah periwatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang
bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian, maka hadis
tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian hadis ahad,
maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan
berkwlitas shahih atau hasan atau dha’if sesuai dengan apa
yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kwalitas tersebut disertai dengan
macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadis yang dikritisi berkwalitas shahih
li ghayrihi atau hasan li ghayrihi.[4]
Adapun metode kritik matan, menurut al-A’zhami,
banyak terfokus pada metode mu’aradhah. Versi lain menyebutnya metode muqaranah
(perbandingan) atau metode muqabalah.
Metode mu’aradhah yang dimaksud
adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar
tetap terpelihara kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan hadis
(sunnah) lain dengan dalil syariat lain. Langkah pencocokan itu dilakukan
dengan petunjuk eksplisit, yaitu dengan cara:
- Mengkomparasikan hadis dengan al-Qur’an.
- Membandingkan antar hadis atau antara hadis dengan sirah nabawiyah.
- Mengkonfirmasikan riwayat hadis dengan realita dan sejarah.
- Mengkomparasikan hadis dengan rasio.
- Membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang ulama’.
- Membandingkan pernyataan seorang ulama’ setelah berselang suatu waktu.[5]
- Perbandingan dokumen tertulis dengan hadis yang disampaikan dari ingatan.
Mengenai hal kritik matan, Al-Siba’i mengungkapkan
bahwa:
- Matan tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
- Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
- Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
- Tidak boleh bertentangan dengan indra dan kenyataan.
- Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang agama tentu tidak membenarkannya
- Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat-sifat Allah dan para rosulNya.
- Tidak boleh bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
- Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi saw.
- Tidak boleh mengandung janji yang berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.[6]
A. Pengertian
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis dalam konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran atau wahyu, baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam kategori ini al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis (1973: 22 – 23).
Umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis dalam konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran atau wahyu, baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam kategori ini al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis (1973: 22 – 23).
Umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
pengertian
sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai
manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya
menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis
tidak hanya segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan
dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Di kalangan para ulama terdapat pula perbedaan antara hadis, khabar dan atsar. Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita yang berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa khabar mencakup segala berita yang berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in. Sedangkan hadis hanya berasal dari Nabi. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar meliputi segala yang berasal dari Nabi dan selainnya, sedangkan khabar hanya dari Nabi.
Meskipun demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa hadis, sunnah, khabar dan atsar mempunyai definisi yang sama, yaitu segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw., sahabat, atau tabi’in dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan hanya sekali atau sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Di kalangan para ulama terdapat pula perbedaan antara hadis, khabar dan atsar. Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita yang berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa khabar mencakup segala berita yang berasal dari Nabi, sahabat, atau tabi’in. Sedangkan hadis hanya berasal dari Nabi. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar meliputi segala yang berasal dari Nabi dan selainnya, sedangkan khabar hanya dari Nabi.
Meskipun demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa hadis, sunnah, khabar dan atsar mempunyai definisi yang sama, yaitu segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw., sahabat, atau tabi’in dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan hanya sekali atau sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.
B. Kedudukan dan Fungsi Hadis
1. Kedudukan Hadis
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor—baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayat (akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya)—yang saling mendukung sehingga terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw. Hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak dapat dilaksanakan.
Selain itu, ruang lingkup hadis yang sangat luas, meliputi akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, cara hidup, sejarah, peristiwa-peristiwa, dan lain sebagainya, menjadikannya berada dalam posisi setingkat di bawah al-Quran sehingga ia dapat dijadikan hujjah dan pegangan umat Islam dalam setiap kehidupannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan-pernyataan Allah di dalam al-Quran:
a. Setiap mukmin wajib patuh kepada Allah dan rasul-Nya (QS. Ali Imran: 32, An-Nisa: 59, Al-Maidah: 92, dst.).
b. Ketaatan pada rasul merupakan bukti ketaatan dan cinta kepada Allah (QS. Ali Imran: 31, An-Nisa: 80).
c. Orang yang menyalahi sunnah/hadis akan mendapat azab Allah (QS. Al-Mujadalah: 5)
d. Berhukum dengan sunnah/hadis adalah tanda orang beriman (QS. An-Nisa: 65).
1. Kedudukan Hadis
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor—baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayat (akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya)—yang saling mendukung sehingga terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw. Hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak dapat dilaksanakan.
Selain itu, ruang lingkup hadis yang sangat luas, meliputi akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, cara hidup, sejarah, peristiwa-peristiwa, dan lain sebagainya, menjadikannya berada dalam posisi setingkat di bawah al-Quran sehingga ia dapat dijadikan hujjah dan pegangan umat Islam dalam setiap kehidupannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan-pernyataan Allah di dalam al-Quran:
a. Setiap mukmin wajib patuh kepada Allah dan rasul-Nya (QS. Ali Imran: 32, An-Nisa: 59, Al-Maidah: 92, dst.).
b. Ketaatan pada rasul merupakan bukti ketaatan dan cinta kepada Allah (QS. Ali Imran: 31, An-Nisa: 80).
c. Orang yang menyalahi sunnah/hadis akan mendapat azab Allah (QS. Al-Mujadalah: 5)
d. Berhukum dengan sunnah/hadis adalah tanda orang beriman (QS. An-Nisa: 65).
2. Fungsi
Hadis
Kedudukan hadis terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir), yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadis berpuasa dan berbuka karena melihat bulan yang memperkuat ayat 185 surat al-Baqarah.
b. Bayan Tafsir, yaitu penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum. Seperti hadis tentang shalat sebagaimana shalat Nabi saw. yang menjelaskan perintah shalat di dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 43, Al-Nisa: 103, dan seterusnya). Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa fungsi ini dapat dirinci menjadi 4 macam (2008: 75), yaitu:
1) Memberikan perincian atas keterangan al-Quran yang masih umum, seperti penjelasan tentang shalat yang dapat ditemukan secara terperinci dalam hadis nabi.
2) Membatasi kemutlakan, seperti ayat al-Quran yang menyatakan bahwa tidak ada batasan berapa harta yang akan diwasiatkan oleh orang yang akan meninggal dunia yang kemudian dijelaskan mengenai hal ini di dalam hadis.
3) Mengkhususkan yang umum (takhshish al-‘am). Contoh, Allah berfirman tentang keharaman memakan bangkai. Dalam hadis, Rasulullah memberikan pengecualian terhadap bangkai ikan dan belalang.
4) Menciptakan hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur’an, seperti beliau mengharamkan binatang buas yang bertaring kuat.
c. Bayan al-Taudhih, yaitu penjelasan yang bersifat mengungkapkan maksud sebenarnya. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan zakat agar harta yang disimpan menjadi baik dan berkah sebagai penjelasan terhadap ayat 34 surat al-Taubah.
Kedudukan hadis terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir), yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadis berpuasa dan berbuka karena melihat bulan yang memperkuat ayat 185 surat al-Baqarah.
b. Bayan Tafsir, yaitu penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum. Seperti hadis tentang shalat sebagaimana shalat Nabi saw. yang menjelaskan perintah shalat di dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 43, Al-Nisa: 103, dan seterusnya). Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa fungsi ini dapat dirinci menjadi 4 macam (2008: 75), yaitu:
1) Memberikan perincian atas keterangan al-Quran yang masih umum, seperti penjelasan tentang shalat yang dapat ditemukan secara terperinci dalam hadis nabi.
2) Membatasi kemutlakan, seperti ayat al-Quran yang menyatakan bahwa tidak ada batasan berapa harta yang akan diwasiatkan oleh orang yang akan meninggal dunia yang kemudian dijelaskan mengenai hal ini di dalam hadis.
3) Mengkhususkan yang umum (takhshish al-‘am). Contoh, Allah berfirman tentang keharaman memakan bangkai. Dalam hadis, Rasulullah memberikan pengecualian terhadap bangkai ikan dan belalang.
4) Menciptakan hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur’an, seperti beliau mengharamkan binatang buas yang bertaring kuat.
c. Bayan al-Taudhih, yaitu penjelasan yang bersifat mengungkapkan maksud sebenarnya. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan zakat agar harta yang disimpan menjadi baik dan berkah sebagai penjelasan terhadap ayat 34 surat al-Taubah.
C.
Perkembangan Hadis
1. Masa Rasulullah saw.
Al-Qur’an telah diyakini kebenarannya oleh kaum Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara utuk kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menuliskan, menghapalkan dan mempelajari al-Qur’an.
Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis itu, kemudian menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam mushaf dewasa ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya 15 abad yang lalu.
Sementara itu, saat ini masih saja ada orang yang meragukan otentisitas hadis. Mereka menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-‘Aziz (99 – 101 H), disamping mereka juga menggunakan sabda Nabi Muhammad saw. berikut:
عن أبي قتادة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول على هذا المنبر يا أيها الناس إياكم وكثرة الحديث عني من قال علي فلا يقولن إلا حقا أو صدقا فمن قال علي ما لم أقل فليتبوأ مقعده من النار ( رواه أحمد )
Diriwayatkan dari Abi Qatadah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar ini, “Wahai manusia, hendaklah kamu menghindari banyak menyampaikan hadisku. Maka orang yang berkata atas nama diriku, janganlah ia berkata kecuali perkataan yang hak dan benar. Dan orang yang mengada-ada atas namaku tentang sesuatu yang tidak aku sampaikan, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. (HR. Ahmad Juz 5 hal. 297 no. 22591. Hadis serupa banyak diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah dan Hakim).
Dugaan mereka tersebut sangat keliru akibat mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis secara resmi dan diperintahkan oleh penguasa untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak Rasulullah hidup.
Hadis di atas memang menjelaskan larangan menulis dan menyampaikan hadis ketika Nabi mendapati salah seorang sahabatnya menulis hadis, sebab beliau khawatir para sahabat dapat keliru membedakan antara ayat al-Qur’an dan ucapan Nabi. Namun, larangan tersebut tidaklah mutlak karena Nabi juga pernah membiarkan sahabat lainnya menulis hadis selama ia berhati-hati dalam menyampaikannya dan tidak mendustakan apa yang disampaikan Nabi (Ibnu Hamzah al-Damsyiqi, jilid 2, 2002: 234 – 235). Oleh sebab itulah, banyak ditemukan naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
a. Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam), berisi hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syiria).
b. Al-Shahifah al-Shadiqah, yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dinilai Abu Hurairah banyak mengetahui hadis dan salah satu sahabat yang mendapat izin untuk menulis apa saja yang didengarnya dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
c. Shahifah Sumarah bin Jundub, beredar di kalangan ulama yang menurut Ibnu Sirin dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
d. Shahifah Jabir bin ‘Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji, khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada’, dan lain-lain. (Quraish Shihab, 1992: 129).
e. Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis Rasulullah saw. telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan tabi’in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Adanya larangan, sifatnya terbatas, yaitu selama terdapat sebab. Jika sebab telah tak ada lagi maka larangannya pun menjadi hilang dengan sendirinya.
Miftah Farid, sebagaimana dikutip Hassan Saleh, menyebutkan beberapa faktor hadis di masa Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
a. Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
b. Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
c. Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
d. Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
e. Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah. (1998: 97).
1. Masa Rasulullah saw.
Al-Qur’an telah diyakini kebenarannya oleh kaum Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara utuk kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menuliskan, menghapalkan dan mempelajari al-Qur’an.
Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis itu, kemudian menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam mushaf dewasa ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya 15 abad yang lalu.
Sementara itu, saat ini masih saja ada orang yang meragukan otentisitas hadis. Mereka menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-‘Aziz (99 – 101 H), disamping mereka juga menggunakan sabda Nabi Muhammad saw. berikut:
عن أبي قتادة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول على هذا المنبر يا أيها الناس إياكم وكثرة الحديث عني من قال علي فلا يقولن إلا حقا أو صدقا فمن قال علي ما لم أقل فليتبوأ مقعده من النار ( رواه أحمد )
Diriwayatkan dari Abi Qatadah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar ini, “Wahai manusia, hendaklah kamu menghindari banyak menyampaikan hadisku. Maka orang yang berkata atas nama diriku, janganlah ia berkata kecuali perkataan yang hak dan benar. Dan orang yang mengada-ada atas namaku tentang sesuatu yang tidak aku sampaikan, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. (HR. Ahmad Juz 5 hal. 297 no. 22591. Hadis serupa banyak diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah dan Hakim).
Dugaan mereka tersebut sangat keliru akibat mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis secara resmi dan diperintahkan oleh penguasa untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak Rasulullah hidup.
Hadis di atas memang menjelaskan larangan menulis dan menyampaikan hadis ketika Nabi mendapati salah seorang sahabatnya menulis hadis, sebab beliau khawatir para sahabat dapat keliru membedakan antara ayat al-Qur’an dan ucapan Nabi. Namun, larangan tersebut tidaklah mutlak karena Nabi juga pernah membiarkan sahabat lainnya menulis hadis selama ia berhati-hati dalam menyampaikannya dan tidak mendustakan apa yang disampaikan Nabi (Ibnu Hamzah al-Damsyiqi, jilid 2, 2002: 234 – 235). Oleh sebab itulah, banyak ditemukan naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
a. Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam), berisi hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syiria).
b. Al-Shahifah al-Shadiqah, yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Ia merupakan salah seorang sahabat yang dinilai Abu Hurairah banyak mengetahui hadis dan salah satu sahabat yang mendapat izin untuk menulis apa saja yang didengarnya dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
c. Shahifah Sumarah bin Jundub, beredar di kalangan ulama yang menurut Ibnu Sirin dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
d. Shahifah Jabir bin ‘Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji, khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada’, dan lain-lain. (Quraish Shihab, 1992: 129).
e. Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis Rasulullah saw. telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan tabi’in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Adanya larangan, sifatnya terbatas, yaitu selama terdapat sebab. Jika sebab telah tak ada lagi maka larangannya pun menjadi hilang dengan sendirinya.
Miftah Farid, sebagaimana dikutip Hassan Saleh, menyebutkan beberapa faktor hadis di masa Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
a. Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
b. Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
c. Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
d. Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
e. Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah. (1998: 97).
2. Masa
Tadwin al-Hadis
Pada masa khulafa’ al-rasyidun hingga awal abad pertama Hijriyah, ternyata hadis belum juga dibukukan. Para sahabat menerima dan menyampaikan hadis secara hati-hati serta dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan terjadi pendapat-pendapat negatif yang mengharuskan pengurangan sekecil-kecilnya usaha periwayatan hadis. Syekh Khudhari Bek, sebagaimana dikutip A. Hasimy, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab pada masa khilafahnya, melarang keras usaha periwayatan hadis, apapun dan bagaimanapun caranya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan tercampurnya ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis serta mencegah terjadinya pemalsuan dan penyelewengan hadis Nabi (1986: 140).
Setelah hampir 100 tahun Rasulullah saw. wafat, ketika hadis dicari-cari oleh generasi tabi’in dan terasa semakin bertambah kebutuhan akannya, bahkan ketika mulai adanya pemalsuan hadis, Khalifah ke-8 dari Dinasti Umayyah, Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99 – 101 H / 717 – 720) secara resmi memimpin kegiatan penulisan dan pembukuan (kodifikasi/tadwin) hadis tersebut. Orang yang mula-mula mengumpulkan hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H). Kemudian menyusul Sa’id bin Abi ‘Arubah dan Rabi’ bin Shabih di Basrah, al-Walid bin Muslim di Syam, Jarir bin ‘Abdurrahman di Rai, Abu ‘Abdullah bin Mubarak di Khurasan, Hasyim bin Basyir di Irak, dan Abu Bakar bin Abi Syaibah di Kufah (A. Hasimy, 1986: 187).
Pada zaman Kerajaan Abbasiyah, Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur (754 – 720 M) memerintahkan kepada Malik bin Anas (93 – 179 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ia ketahui, dan selanjutnya terkumpul di dalam sebuah buku bernama al-Muwaththa’ yang menurut Ibnu Hazm berjumlah 870 hadis.
Usaha kodifikasi yang dilakukan oleh kedua khalifah di atas hanya merupakan usaha kecil untuk menyelamatkan sumber hukum kedua agama Islam tersebut dari pemalsuan-pemalsuan hadis, baik karena motif politik, fanatisme golongan, maupun karena motif kejahatan yang ingin merusakn citra Islam. Akan tetapi, pada abad ketiga Hijriyah lahirlah gerakan ilmiyah yang menyeluruh berbarengan dengan terjemahan buku-buku Yunani. Pada masa ini, muncul ulama-ulama ya
Pada masa khulafa’ al-rasyidun hingga awal abad pertama Hijriyah, ternyata hadis belum juga dibukukan. Para sahabat menerima dan menyampaikan hadis secara hati-hati serta dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan terjadi pendapat-pendapat negatif yang mengharuskan pengurangan sekecil-kecilnya usaha periwayatan hadis. Syekh Khudhari Bek, sebagaimana dikutip A. Hasimy, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab pada masa khilafahnya, melarang keras usaha periwayatan hadis, apapun dan bagaimanapun caranya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan tercampurnya ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis serta mencegah terjadinya pemalsuan dan penyelewengan hadis Nabi (1986: 140).
Setelah hampir 100 tahun Rasulullah saw. wafat, ketika hadis dicari-cari oleh generasi tabi’in dan terasa semakin bertambah kebutuhan akannya, bahkan ketika mulai adanya pemalsuan hadis, Khalifah ke-8 dari Dinasti Umayyah, Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99 – 101 H / 717 – 720) secara resmi memimpin kegiatan penulisan dan pembukuan (kodifikasi/tadwin) hadis tersebut. Orang yang mula-mula mengumpulkan hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H). Kemudian menyusul Sa’id bin Abi ‘Arubah dan Rabi’ bin Shabih di Basrah, al-Walid bin Muslim di Syam, Jarir bin ‘Abdurrahman di Rai, Abu ‘Abdullah bin Mubarak di Khurasan, Hasyim bin Basyir di Irak, dan Abu Bakar bin Abi Syaibah di Kufah (A. Hasimy, 1986: 187).
Pada zaman Kerajaan Abbasiyah, Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur (754 – 720 M) memerintahkan kepada Malik bin Anas (93 – 179 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ia ketahui, dan selanjutnya terkumpul di dalam sebuah buku bernama al-Muwaththa’ yang menurut Ibnu Hazm berjumlah 870 hadis.
Usaha kodifikasi yang dilakukan oleh kedua khalifah di atas hanya merupakan usaha kecil untuk menyelamatkan sumber hukum kedua agama Islam tersebut dari pemalsuan-pemalsuan hadis, baik karena motif politik, fanatisme golongan, maupun karena motif kejahatan yang ingin merusakn citra Islam. Akan tetapi, pada abad ketiga Hijriyah lahirlah gerakan ilmiyah yang menyeluruh berbarengan dengan terjemahan buku-buku Yunani. Pada masa ini, muncul ulama-ulama ya
ng menonjol
dalam bidang hadis yang tidak hanya mengumpulkan hadis, tetapi juga merumuskan
suatu disiplin ilmu berkenaan dengan hadis yang kemudian disebut mushthalah
al-hadis. Diantara para ulama tersebut adalah al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w.
261 H), Ibnu Majah (w. 273), al-Tirmizi (w. 274 H), al-Nasa’i (w. 303 H), Abu
Daud (w. 275 H), Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Shalah, dan lainnya yang merupakan
rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam upaya penyelamatan hadis (M.
Rasjidi, 1983: 23 – 24).
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
1. Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan seterusnya.
2. Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
3. Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
1. Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan seterusnya.
2. Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
3. Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
D.
Klasifikasi Hadis
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah
mursal
(terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan
dengan menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa
al-Ada’.
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Para ulama membagi hadis—setidaknya—menjadi 41 jenis. Berikut ini adalah macam-macam hadis berdasarkan klasifikasinya.
1. Asal Hadis
a. Hadis Nabawi, yaitu segala ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
b. Hadis Qudsi, yaitu hadis yang oleh Nabi disandarkan kepada/berasal dari Allah swt.
2. Kualitas Hadis
a. Hadis Shahih, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, seluruh rawi-nya ‘adil dan dhabith, dan sama sekali tidak terdapat ‘illat (cacat) dan syaz (janggal) pada matn-nya. Hadis shahih terbagi 2 macam, yaitu shahih li zatih (hadis yang shahih dengan sendirinya sehingga tidak dibutuhkan syahid (saksi) atasnya) dan shahih li ghairih (hadis hasan yang menjadi shahih karena ada syahid yang dapat menguatkan kualitasnya atau hadis lain yang lebih baik kualitas sanad-nya).
b. Hadis Hasan, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, rawi-nya ‘adil dan dhabith, tetapi terdapat sedikit ‘illat dan syaz pada matn-nya sehingga ia tidak dapat menjadi shahih. Menurut al-Tirmizi, hadis hasan ialah hadis yang selamat dari syaz dan tidak diriwayatkan dari jalur lain. Menurut Ibnu al-Jauzi, ialah hadis yang mempunyai sedikit kelemahan yang tidak terlalu berat. Hadis hasan terbagi 2 macam, yaitu hasan li zatih (hadis yang hasan dengan sendirinya sehingga tidak dibutuhkan syahid (saksi) atasnya) dan shahih li ghairih (hadis dha’if yang menjadi hasan karena ada syahid yang dapat menguatkan kualitasnya atau hadis lain yang lebih baik kualitas sanad-nya).
c. Hadis Dha’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis shahih dan hasan. Ialah, hadis yang sanad-nya terputus, dan atau rawi-nya tidak ‘adil dan dhabith, dan atau terdapat ‘illat dan atau syaz yang cukup parah. Hadis jenis ini cukup banyak macamnya dan akan dijelaskan nanti.
3. Macam-Macam Hadis Dha‘if
a. Hadis Mawdhu‘, yaitu hadis palsu atau dipalsukan, yakni hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. padahal beliau tidak pernah meriwayatkan hadis tersebut.
b. Hadis Mu’allaq, yaitu hadis yang gugur rawi-nya di tingkat awal sanad.
c. Hadis Maqlub, yaitu hadis yang menyalahi atau bertentangan dengan hadis lain, baik di dalam sanad maupun matn-nya.
d. Hadis Syaz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi tsiqqah tetapi menyalahi/bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, baik berupa penambahan atau pengurangan sanad atau matn hadis.
e. Hadis Mubham, yaitu hadis yang di dalam sanad dan atau matn-nya terdapat orang yang tidak disebutkan namanya, tetapi dapat diketahui keberadaannya pada hadis lain, baik terjadi pada sanad ataupun matn. Contoh, ‘an rajulin, ‘an imra’atin, ‘an al-syaikh. Jika mubham pada sanad maka hukumnya dha’if, tetapi bila pada matn maka tergantung sanad dan rawi-nya.
f. Hadis Mu’dhal, yaitu hadis yang terdapat 2 rawi atau lebih yang terputus secara berurutan, baik di awal, tengah, atau akhir sanad.
g. Hadis Mudallas, yaitu hadis yang dinisbatkan kepada seorang yang tsiqqah padahal rawi tidak pernah bertemu dengan orang itu dan orang tersebut tidak pernah meriwayatkan hadis tersebut serta menggunakan lafaz (cara penyampaian) yang muttashil.
h. Hadis Mu‘allal / Ma‘lul, yaitu hadis yang kelihatan sudah memenuhi kriteria ke-shahih-an hadis, baik sanad maupun matan, tetapi setelah dilakukan penelitian secara mendalam dan dibandingkan dengan hadis lain yang semakna ternyata ditemukan kecacatan (Bustamin, 2004: 58). Contoh, me-mursal-kan hadis mawshul, me-mawquf-kan hadis marfu’, dst.
i. Hadis Mudhtharib, yaitu hadis yang terdapat perbedaan nama rawi di dalam sanad dan atau redaksi yang berbeda dengan hadis lain, baik secara lafzi atau ma‘nawi.
j. Hadis Mursal, yaitu hadis yang oleh rawi disandarkan kepada Nabi saw. padahal hadis tersebut adalah ucapan sahabat atau tabi‘in. Ulama lain berpendapat bahwa hadis mursal adalah hadis yang terputus sanad-nya, walaupun hanya seorang, baik di awal, tengah, atau akhir sanad.
k. Hadis Mudraj, yaitu hadis yang terdapat penambahan kata atau kalimat yang merupakan penjelasan rawi terhadap hadis tersebut yang seharusnya tidak ada, baik penambahan itu terjadi pada sanad maupun matn.
l. Hadis Majhul / Mastur, yaitu hadis di dalam sanad-nya terdapat rawi yang disebutkan namanya tetapi ia tidak diketahui adanya atau diketahui adanya tetapi tidak diketahui kualitasnya.
4. Ke-hujjah-an Hadis
a. Hadis Maqbul, hadis yang dapat diterima sebagai hujjah (landasan hukum).
b. Hadis Mardud, hadis yang tidak dapat diterima sebagai hujjah.
5. Kebersambungan Sanad
a. Hadis Muttashil, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, baik sampai kepada Nabi, atau hanya pada sahabat dan tabi’in.
b. Hadis Munqathi‘, yaitu hadis yang sanad-nya terputus, baik sampai kepada Nabi, atau hanya pada sahabat dan tabi’in.
c. Hadis Musalsal, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung serta memiliki satu sifat dalam periwayatan dan peng-isnad-annya. Dengan kata lain, musalsal adalah hadis yang sanadnya bertemu dengan satu keadaan atau satu sifat—berupa ucapan maupun perbuatan—yang berulang-ulang periwayatan atau berkaitan dengan masa maupun tempatnya. (‘Ajaj al-Khathib, 2003: 340).
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Para ulama membagi hadis—setidaknya—menjadi 41 jenis. Berikut ini adalah macam-macam hadis berdasarkan klasifikasinya.
1. Asal Hadis
a. Hadis Nabawi, yaitu segala ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
b. Hadis Qudsi, yaitu hadis yang oleh Nabi disandarkan kepada/berasal dari Allah swt.
2. Kualitas Hadis
a. Hadis Shahih, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, seluruh rawi-nya ‘adil dan dhabith, dan sama sekali tidak terdapat ‘illat (cacat) dan syaz (janggal) pada matn-nya. Hadis shahih terbagi 2 macam, yaitu shahih li zatih (hadis yang shahih dengan sendirinya sehingga tidak dibutuhkan syahid (saksi) atasnya) dan shahih li ghairih (hadis hasan yang menjadi shahih karena ada syahid yang dapat menguatkan kualitasnya atau hadis lain yang lebih baik kualitas sanad-nya).
b. Hadis Hasan, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, rawi-nya ‘adil dan dhabith, tetapi terdapat sedikit ‘illat dan syaz pada matn-nya sehingga ia tidak dapat menjadi shahih. Menurut al-Tirmizi, hadis hasan ialah hadis yang selamat dari syaz dan tidak diriwayatkan dari jalur lain. Menurut Ibnu al-Jauzi, ialah hadis yang mempunyai sedikit kelemahan yang tidak terlalu berat. Hadis hasan terbagi 2 macam, yaitu hasan li zatih (hadis yang hasan dengan sendirinya sehingga tidak dibutuhkan syahid (saksi) atasnya) dan shahih li ghairih (hadis dha’if yang menjadi hasan karena ada syahid yang dapat menguatkan kualitasnya atau hadis lain yang lebih baik kualitas sanad-nya).
c. Hadis Dha’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis shahih dan hasan. Ialah, hadis yang sanad-nya terputus, dan atau rawi-nya tidak ‘adil dan dhabith, dan atau terdapat ‘illat dan atau syaz yang cukup parah. Hadis jenis ini cukup banyak macamnya dan akan dijelaskan nanti.
3. Macam-Macam Hadis Dha‘if
a. Hadis Mawdhu‘, yaitu hadis palsu atau dipalsukan, yakni hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. padahal beliau tidak pernah meriwayatkan hadis tersebut.
b. Hadis Mu’allaq, yaitu hadis yang gugur rawi-nya di tingkat awal sanad.
c. Hadis Maqlub, yaitu hadis yang menyalahi atau bertentangan dengan hadis lain, baik di dalam sanad maupun matn-nya.
d. Hadis Syaz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi tsiqqah tetapi menyalahi/bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, baik berupa penambahan atau pengurangan sanad atau matn hadis.
e. Hadis Mubham, yaitu hadis yang di dalam sanad dan atau matn-nya terdapat orang yang tidak disebutkan namanya, tetapi dapat diketahui keberadaannya pada hadis lain, baik terjadi pada sanad ataupun matn. Contoh, ‘an rajulin, ‘an imra’atin, ‘an al-syaikh. Jika mubham pada sanad maka hukumnya dha’if, tetapi bila pada matn maka tergantung sanad dan rawi-nya.
f. Hadis Mu’dhal, yaitu hadis yang terdapat 2 rawi atau lebih yang terputus secara berurutan, baik di awal, tengah, atau akhir sanad.
g. Hadis Mudallas, yaitu hadis yang dinisbatkan kepada seorang yang tsiqqah padahal rawi tidak pernah bertemu dengan orang itu dan orang tersebut tidak pernah meriwayatkan hadis tersebut serta menggunakan lafaz (cara penyampaian) yang muttashil.
h. Hadis Mu‘allal / Ma‘lul, yaitu hadis yang kelihatan sudah memenuhi kriteria ke-shahih-an hadis, baik sanad maupun matan, tetapi setelah dilakukan penelitian secara mendalam dan dibandingkan dengan hadis lain yang semakna ternyata ditemukan kecacatan (Bustamin, 2004: 58). Contoh, me-mursal-kan hadis mawshul, me-mawquf-kan hadis marfu’, dst.
i. Hadis Mudhtharib, yaitu hadis yang terdapat perbedaan nama rawi di dalam sanad dan atau redaksi yang berbeda dengan hadis lain, baik secara lafzi atau ma‘nawi.
j. Hadis Mursal, yaitu hadis yang oleh rawi disandarkan kepada Nabi saw. padahal hadis tersebut adalah ucapan sahabat atau tabi‘in. Ulama lain berpendapat bahwa hadis mursal adalah hadis yang terputus sanad-nya, walaupun hanya seorang, baik di awal, tengah, atau akhir sanad.
k. Hadis Mudraj, yaitu hadis yang terdapat penambahan kata atau kalimat yang merupakan penjelasan rawi terhadap hadis tersebut yang seharusnya tidak ada, baik penambahan itu terjadi pada sanad maupun matn.
l. Hadis Majhul / Mastur, yaitu hadis di dalam sanad-nya terdapat rawi yang disebutkan namanya tetapi ia tidak diketahui adanya atau diketahui adanya tetapi tidak diketahui kualitasnya.
4. Ke-hujjah-an Hadis
a. Hadis Maqbul, hadis yang dapat diterima sebagai hujjah (landasan hukum).
b. Hadis Mardud, hadis yang tidak dapat diterima sebagai hujjah.
5. Kebersambungan Sanad
a. Hadis Muttashil, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung, baik sampai kepada Nabi, atau hanya pada sahabat dan tabi’in.
b. Hadis Munqathi‘, yaitu hadis yang sanad-nya terputus, baik sampai kepada Nabi, atau hanya pada sahabat dan tabi’in.
c. Hadis Musalsal, yaitu hadis yang sanad-nya bersambung serta memiliki satu sifat dalam periwayatan dan peng-isnad-annya. Dengan kata lain, musalsal adalah hadis yang sanadnya bertemu dengan satu keadaan atau satu sifat—berupa ucapan maupun perbuatan—yang berulang-ulang periwayatan atau berkaitan dengan masa maupun tempatnya. (‘Ajaj al-Khathib, 2003: 340).
6.
Penisbatan Hadis
a. Hadis Marfu’, yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik sanad-nya bersambung ataupun tidak.
b. Hadis Mawquf, yaitu hadis yang sanad-nya hanya sampai sahabat, tetapi tidak sampai kepada Nabi saw., baik sanad-nya bersambung ataupun tidak.
c. Hadis Maqthu‘, yaitu hadis yang sanad-nya hanya sampai kepada tabi’in, baik bersambung sanad-nya ataupun tidak.
7. Jarak Penisbatan Kepada Nabi saw.
a. Hadis ‘Ali, yaitu hadis yang jalur periwayatan (sanad)-nya sangat dekat kepada Nabi saw.
b. Hadis Nazil, yaitu hadis yang jalur periwayatan (sanad)-nya jauh kepada Nabi saw.
8. Metode Penyampaian Hadis
a. Hadis Marfu’, yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik sanad-nya bersambung ataupun tidak.
b. Hadis Mawquf, yaitu hadis yang sanad-nya hanya sampai sahabat, tetapi tidak sampai kepada Nabi saw., baik sanad-nya bersambung ataupun tidak.
c. Hadis Maqthu‘, yaitu hadis yang sanad-nya hanya sampai kepada tabi’in, baik bersambung sanad-nya ataupun tidak.
7. Jarak Penisbatan Kepada Nabi saw.
a. Hadis ‘Ali, yaitu hadis yang jalur periwayatan (sanad)-nya sangat dekat kepada Nabi saw.
b. Hadis Nazil, yaitu hadis yang jalur periwayatan (sanad)-nya jauh kepada Nabi saw.
8. Metode Penyampaian Hadis
a. Hadis
Mu‘an‘an, yaitu hadis yang penyampaiannya menggunakan lafaz ‘an dari awal
hingga akhir sanad.
b. Hadis Muannan, yaitu hadis yang penyampaiannya menggunakan lafaz anna / inna dari awal hingga akhir sanad.
9. Jumlah Rawi di Setiap Thabaqat
a. Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi (minimal 10 – 20 orang) di setiap tingkat (thabaqat) sanad-nya dimana mereka semua mustahil bersepakat dusta, dari awal hingga akhir sanad. Hadis ini terbagi menjadi Mutawatir Lafzi (ke-mutawatir-an lafaz-lafaz hadis tentang suatu masalah walaupun menggunakan kata sinonim dan redaksi yang berbeda tetapi tetap mengandung satu makna mengenai suatu masalah), Mutawatir Ma’nawi (ke-mutawatir-an hadis tentang kasus yang berbeda tetapi mempunyai makna saling berdekatan atau saling berkaitan), dan Mutawatir ‘Amali (yaitu perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi saw. secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat).
b. Hadis Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mencapai tingkat mutawatir.
c. Hadis Masyhur, yaitu hadis yang mula-mula jumlah rawi-nya 3 orang atau lebih kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
d. Hadis ‘Aziz, yaitu hadis yang mula-mula diriwayatkan oleh 2 orang saja tetapi kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
e. Hadis Gharib, yaitu hadis yang mula-mula diriwayatkan oleh seorang saja pada setiap thabaqat atau kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
f. Hadis Munfarid, yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi, atau hadis yang hanya mempunyai satu jalur sanad meskipun diriwayatkan oleh beberapa orang rawi.
g. Hadis Mudabbaj, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang sezaman atau satu thabaqat, baik itu di tingkat sahabat, tabi‘in, dan seterusnya. Seperti hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah dari Abu Hurairah dan Abu Hurairah meriwayatkan pula hadis dari ‘Aisyah.
10. Kualitas Rawi
a. Hadis Matruk, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang tertuduh dusta.
b. Hadis Munkar, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang dikenal kefasikannya.
c. Hadis Mukhtalith, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang buruk hapalannya.
11. Perbedaan dengan Hadis Lain
a. Hadis Mu’talif, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat perbedaan pengucapan nama rawi, seperti ‘Umarah dibaca ‘Ammarah.
b. Hadis Mukhtalif, yaitu hadis yang redaksi matn-nya terlihat berbeda/bertentangan dengan matn hadis lain.
b. Hadis Muannan, yaitu hadis yang penyampaiannya menggunakan lafaz anna / inna dari awal hingga akhir sanad.
9. Jumlah Rawi di Setiap Thabaqat
a. Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi (minimal 10 – 20 orang) di setiap tingkat (thabaqat) sanad-nya dimana mereka semua mustahil bersepakat dusta, dari awal hingga akhir sanad. Hadis ini terbagi menjadi Mutawatir Lafzi (ke-mutawatir-an lafaz-lafaz hadis tentang suatu masalah walaupun menggunakan kata sinonim dan redaksi yang berbeda tetapi tetap mengandung satu makna mengenai suatu masalah), Mutawatir Ma’nawi (ke-mutawatir-an hadis tentang kasus yang berbeda tetapi mempunyai makna saling berdekatan atau saling berkaitan), dan Mutawatir ‘Amali (yaitu perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi saw. secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat).
b. Hadis Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mencapai tingkat mutawatir.
c. Hadis Masyhur, yaitu hadis yang mula-mula jumlah rawi-nya 3 orang atau lebih kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
d. Hadis ‘Aziz, yaitu hadis yang mula-mula diriwayatkan oleh 2 orang saja tetapi kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
e. Hadis Gharib, yaitu hadis yang mula-mula diriwayatkan oleh seorang saja pada setiap thabaqat atau kemudian diriwayatkan oleh sejumlah orang pada thabaqat lainya.
f. Hadis Munfarid, yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi, atau hadis yang hanya mempunyai satu jalur sanad meskipun diriwayatkan oleh beberapa orang rawi.
g. Hadis Mudabbaj, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang sezaman atau satu thabaqat, baik itu di tingkat sahabat, tabi‘in, dan seterusnya. Seperti hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah dari Abu Hurairah dan Abu Hurairah meriwayatkan pula hadis dari ‘Aisyah.
10. Kualitas Rawi
a. Hadis Matruk, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang tertuduh dusta.
b. Hadis Munkar, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang dikenal kefasikannya.
c. Hadis Mukhtalith, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat rawi yang buruk hapalannya.
11. Perbedaan dengan Hadis Lain
a. Hadis Mu’talif, yaitu hadis yang di dalam sanad-nya terdapat perbedaan pengucapan nama rawi, seperti ‘Umarah dibaca ‘Ammarah.
b. Hadis Mukhtalif, yaitu hadis yang redaksi matn-nya terlihat berbeda/bertentangan dengan matn hadis lain.
E. ‘Ulum
al-Hadis
Ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membahas suatu hadis dinamakan ‘ulum al-hadis (ilmu-ilmu hadis). Disebut demikian karena ilmu pengetahuan ini banyak macamnya. Secara garis besar, ilmu hadis terbagi kepada dua macam, yaitu:
1. ‘Ilm Hadis Riwayah, ialah ilmu yang membahas materi hadis itu sendiri. Dengan ilmu ini sehingga dapat diketahui mana hadis yang benar-benar berasal dari Nabi saw. dan mana yang bukan darinya.
2. ‘Ilm Hadis Dirayah, ialah ilmu yang membahas hadis dari segi diterima (maqbul) atau tidaknya (mardud). Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Mushthalah al-Hadis (ilmu istilah-istilah hadis).
Dalam perkembangan berikutnya, telah lahir cabang-cabang ilmu hadis, antara lain:
1. ‘Ilm ‘Ilal al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang cacat yang tidak nampak dalam suatu hadis yang dapat menjatuhkan kualitas hadis.
2. ‘Ilm Nasikh wa al-Mansukh al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang penghapusan hukum pada suatu hadis dengan hukum pada hadis lain.
3. ‘Ilm Ma’ani al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang metodologi pemahaman terhadap materi (matn) hadis.
4. ‘Ilm Gharib al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar di dalam hadis.
5. ‘Ilm Syaz al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang syaz hadis.
6. ‘Ilm Mukhtalif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengkompromikan suatu hadis yang tampak bertentangan dengan hadis lain. Ilmu ini juga disebut ‘Ilm Talfiq al-Hadis.
7. ‘Ilm Asbab al-Wurud al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya (diriwayatkannya) suatu hadis.
8. ‘Ilm Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang tentang hadis yang berubah titik atau bentuknya.
9. ‘Ilm Thabaqat al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas tentang otobiografi dan demografi rawi hadis.
10. ‘Ilm Fann al-Mubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan hadis.
11. ‘Ilm Tahammul wa al-Ada’, yaitu ilmu yang membahas tentang metodologi penyampaian dan periwayatan hadis.
12. ‘Ilm Rijal al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadis dari segi kebersambungan rawi, baik dari segi tempat, waktu wafat dan lahir, maupun dari hubungannya sebagai guru dan murid
13. ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang membahas tentang kualitas (‘adil dan dhabith) rawi hadis.
14. ‘Ilm Tarikh al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas tentang biografi rawi hadis.
15. ‘Ilm Takhrij al-Hadis, yaitu ilmu yang mengeluarkan suatu hadis dari kitab asalnya untuk kemudian diteliti sanad dan rawi-nya sehingga dapat diketahui kualitas hadis tersebut secara sanadi. (Miftahul Khaer, 2006: 1).
16. ‘Ilm Tahqiq al-Hadis, yaitu ilmu penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal, holistik dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis. Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Fiqh al-Hadis (ilmu pemahaman hadis). Ilmu ini merupakan penerapan gabungan dari seluruh ilmu-ilmu hadis. (Miftahul Khaer, 2006: 1).
Ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membahas suatu hadis dinamakan ‘ulum al-hadis (ilmu-ilmu hadis). Disebut demikian karena ilmu pengetahuan ini banyak macamnya. Secara garis besar, ilmu hadis terbagi kepada dua macam, yaitu:
1. ‘Ilm Hadis Riwayah, ialah ilmu yang membahas materi hadis itu sendiri. Dengan ilmu ini sehingga dapat diketahui mana hadis yang benar-benar berasal dari Nabi saw. dan mana yang bukan darinya.
2. ‘Ilm Hadis Dirayah, ialah ilmu yang membahas hadis dari segi diterima (maqbul) atau tidaknya (mardud). Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Mushthalah al-Hadis (ilmu istilah-istilah hadis).
Dalam perkembangan berikutnya, telah lahir cabang-cabang ilmu hadis, antara lain:
1. ‘Ilm ‘Ilal al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang cacat yang tidak nampak dalam suatu hadis yang dapat menjatuhkan kualitas hadis.
2. ‘Ilm Nasikh wa al-Mansukh al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang penghapusan hukum pada suatu hadis dengan hukum pada hadis lain.
3. ‘Ilm Ma’ani al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang metodologi pemahaman terhadap materi (matn) hadis.
4. ‘Ilm Gharib al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar di dalam hadis.
5. ‘Ilm Syaz al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang syaz hadis.
6. ‘Ilm Mukhtalif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengkompromikan suatu hadis yang tampak bertentangan dengan hadis lain. Ilmu ini juga disebut ‘Ilm Talfiq al-Hadis.
7. ‘Ilm Asbab al-Wurud al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya (diriwayatkannya) suatu hadis.
8. ‘Ilm Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang tentang hadis yang berubah titik atau bentuknya.
9. ‘Ilm Thabaqat al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas tentang otobiografi dan demografi rawi hadis.
10. ‘Ilm Fann al-Mubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan hadis.
11. ‘Ilm Tahammul wa al-Ada’, yaitu ilmu yang membahas tentang metodologi penyampaian dan periwayatan hadis.
12. ‘Ilm Rijal al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadis dari segi kebersambungan rawi, baik dari segi tempat, waktu wafat dan lahir, maupun dari hubungannya sebagai guru dan murid
13. ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang membahas tentang kualitas (‘adil dan dhabith) rawi hadis.
14. ‘Ilm Tarikh al-Ruwah, yaitu ilmu yang membahas tentang biografi rawi hadis.
15. ‘Ilm Takhrij al-Hadis, yaitu ilmu yang mengeluarkan suatu hadis dari kitab asalnya untuk kemudian diteliti sanad dan rawi-nya sehingga dapat diketahui kualitas hadis tersebut secara sanadi. (Miftahul Khaer, 2006: 1).
16. ‘Ilm Tahqiq al-Hadis, yaitu ilmu penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal, holistik dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis. Ilmu ini disebut juga ‘Ilm Fiqh al-Hadis (ilmu pemahaman hadis). Ilmu ini merupakan penerapan gabungan dari seluruh ilmu-ilmu hadis. (Miftahul Khaer, 2006: 1).
F. Pemikiran
dan Penelitian Hadis
Sebagaimana halnya al-Qur’an, hadis pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan peneitian terhadap al-Qur’an. Hal ini dikarenakan dari segi kedatangan/periwayatan (wurud) hadis yang tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi Muhammad saw. sehingga peringkat hadis menjadi zanni al-wurud. Berbeda dengan al-Qur’an yang sudah diyakini mutawatir dan qath‘I al-wurud.
Di bawah ini diberikan gambaran pemikiran dan penelitian terhadap hadis yang dilakukan oleh para ulama dan non-ulama (baca: orientalis). Untuk memudahkan pembahasannya, penulis membaginya menjadi 3 kategori, yakni ulama konvensional dan kontemporer, serta kajian para orientalis tentang hadis.
Sebagaimana halnya al-Qur’an, hadis pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan peneitian terhadap al-Qur’an. Hal ini dikarenakan dari segi kedatangan/periwayatan (wurud) hadis yang tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi Muhammad saw. sehingga peringkat hadis menjadi zanni al-wurud. Berbeda dengan al-Qur’an yang sudah diyakini mutawatir dan qath‘I al-wurud.
Di bawah ini diberikan gambaran pemikiran dan penelitian terhadap hadis yang dilakukan oleh para ulama dan non-ulama (baca: orientalis). Untuk memudahkan pembahasannya, penulis membaginya menjadi 3 kategori, yakni ulama konvensional dan kontemporer, serta kajian para orientalis tentang hadis.
1. Ulama
Konvensional
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i, yang pernah berguru kepada Imam Malik al-Muwaththa’ dalam bidang fiqh dan hadis, meletakkan al-sunnah dalam peringkat yang sama dengan al-Kitab. Meskipun dalam prakteknya al-Qur’an lebih didahulukan, namun tidak menunjukkan peringkat yang berbeda, sebab al-sunnah berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an secara otentik.
Al-Syafi’i tidak hanya berperan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh saja, tetapi ia juga berperan dalam bidang hadis dan ilmu hadis. Salah satu kitab hadis yang masyhur pada abad kedua hijriyah adalah Musnad al-Syafi’i. Kitab ini, meskipun disusun oleh muridnya, merupakan kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab al-Umm karangan al-Syafi’i.
Dengan kegigihannya dalam membela hadis nabi sebagai hujjah, al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis. (Indal Abror, 2004: 74 – 81).
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain.
Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir. Dalam hal ittishal al-isnad, al-Bukhari mengharuskan rawi pemberi dan penerima hadis hidup dalam satu zaman dan mereka harus saling berjumpa. Melalui metode inilah Bukhari menyaring 600.000 hadis ke dalam satu kitab shahih-nya yang tinggal 7275 hadis dengan pengulangan dan 4000 hadis yang tanpa pengulangan. (Abudin Nata, 2001: 190 – 192).
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i, yang pernah berguru kepada Imam Malik al-Muwaththa’ dalam bidang fiqh dan hadis, meletakkan al-sunnah dalam peringkat yang sama dengan al-Kitab. Meskipun dalam prakteknya al-Qur’an lebih didahulukan, namun tidak menunjukkan peringkat yang berbeda, sebab al-sunnah berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an secara otentik.
Al-Syafi’i tidak hanya berperan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh saja, tetapi ia juga berperan dalam bidang hadis dan ilmu hadis. Salah satu kitab hadis yang masyhur pada abad kedua hijriyah adalah Musnad al-Syafi’i. Kitab ini, meskipun disusun oleh muridnya, merupakan kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab al-Umm karangan al-Syafi’i.
Dengan kegigihannya dalam membela hadis nabi sebagai hujjah, al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis. (Indal Abror, 2004: 74 – 81).
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain.
Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir. Dalam hal ittishal al-isnad, al-Bukhari mengharuskan rawi pemberi dan penerima hadis hidup dalam satu zaman dan mereka harus saling berjumpa. Melalui metode inilah Bukhari menyaring 600.000 hadis ke dalam satu kitab shahih-nya yang tinggal 7275 hadis dengan pengulangan dan 4000 hadis yang tanpa pengulangan. (Abudin Nata, 2001: 190 – 192).
2. Ulama
Kontemporer
Cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Para ulama seperti tersebut di atas tidak lagi mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw., karena kegiatan tersebut oleh para ulama sudah dianggap final dan tidak ada lagi hadis-hadis yang belum terkumpulkan, sekalipun itu hadis palsu. Aktivitas yang mereka lakukan saat ini lebih kepada kajian hadis dan ilmu-ilmu hadis. Mereka mengkaji lebih dalam terhadap materi hadis, melakukan kritisasi terhadap ulama-ulama terdahulu, serta berusaha mengembangkan ilmu-ilmu hadis dan menjawab tantangan orientalis yang berusaha menghancurkan Islam melalui hadis yang menurut mereka dianggap tidak relevan, dimana kesemuanya itu dilakukan dalam rangka menjaga hadis-hadis Rasulullah sebagaimana Allah menjaga wahyu-Nya di dalam al-Qur’an.
Meskipun demikian, penelitian hadis nampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalah aktual dewasa ini. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis masih harus terus dilakukan. Misalnya pendekatan sosiolagis, antropolgis, pedagogis, filosofis, ekonomi, politik, dan seterusnya yang nampaknya belum banyak dilakukan para peneliti hadis sebelumnya. Penelitian semacam ini dimaksudkan agar pemahaman masyarakat terhadap hadis tidak lagi bersifat parsial, tetapi dapat menjadi universal (kaffah).
Cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Para ulama seperti tersebut di atas tidak lagi mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw., karena kegiatan tersebut oleh para ulama sudah dianggap final dan tidak ada lagi hadis-hadis yang belum terkumpulkan, sekalipun itu hadis palsu. Aktivitas yang mereka lakukan saat ini lebih kepada kajian hadis dan ilmu-ilmu hadis. Mereka mengkaji lebih dalam terhadap materi hadis, melakukan kritisasi terhadap ulama-ulama terdahulu, serta berusaha mengembangkan ilmu-ilmu hadis dan menjawab tantangan orientalis yang berusaha menghancurkan Islam melalui hadis yang menurut mereka dianggap tidak relevan, dimana kesemuanya itu dilakukan dalam rangka menjaga hadis-hadis Rasulullah sebagaimana Allah menjaga wahyu-Nya di dalam al-Qur’an.
Meskipun demikian, penelitian hadis nampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalah aktual dewasa ini. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis masih harus terus dilakukan. Misalnya pendekatan sosiolagis, antropolgis, pedagogis, filosofis, ekonomi, politik, dan seterusnya yang nampaknya belum banyak dilakukan para peneliti hadis sebelumnya. Penelitian semacam ini dimaksudkan agar pemahaman masyarakat terhadap hadis tidak lagi bersifat parsial, tetapi dapat menjadi universal (kaffah).
3. Kajian
Outsider
Musuh-musuh Islam akhirnya sadar bahwa serangan terhadap al-Qur’an selalu gagal dan justru membawa efek bumerang secara psikologis, materil, maupun wacana. Untuk itu, mereka lalu mengarahkan serangan terhadap sumber hukum Islam yang kedua. Hal ini dilakukan dengan asumsi, perubahan strategi ini akan mampu mengalihkan pandangan umat Islam dari warisan Nabinya. Diantara mereka yang intens dalam melakukan serangan ini adalah Snouck Hurgronje, Van Koenings Veld, Ignaz Goldziher, Karel Steenbrink, dan masih banyak lagi.
Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
Musuh-musuh Islam akhirnya sadar bahwa serangan terhadap al-Qur’an selalu gagal dan justru membawa efek bumerang secara psikologis, materil, maupun wacana. Untuk itu, mereka lalu mengarahkan serangan terhadap sumber hukum Islam yang kedua. Hal ini dilakukan dengan asumsi, perubahan strategi ini akan mampu mengalihkan pandangan umat Islam dari warisan Nabinya. Diantara mereka yang intens dalam melakukan serangan ini adalah Snouck Hurgronje, Van Koenings Veld, Ignaz Goldziher, Karel Steenbrink, dan masih banyak lagi.
Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
Akhirnya,
disadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, apalagi
ia hanyalah penjelasan-penjelasan singkat dari point-point penting tentang
hadis. Namun yang pasti, ia setidaknya dapat memberi sedikit pengetahuan
mengenai pentingnya studi hadis. Penulis menyarankan supaya pembaca dapat lebih
menggali dan mencari sendiri untuk dapat memperdalam kajian tentang hadis,
sebab hadis mempunyai berbagai keindahan dan kenikmatan yang tak kalah hebatnya
dengan al-Qur’an. Wallah a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKAAbror, Indal., Kitab al-Umm Karya al-Syafi’i dan Posisinya dalam Kutub al-Sittah, (Tulisan di dalam “Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis” Vol. 5 No. 2), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004.
Amin, Ma’ruf., Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: eLSAS, 2008.
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam., Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-., Asbab al-Wurud, jilid 2, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Efendi, Agus., Menjawab “Santri” Menanggapi Tanggapan atas Buku Islam Aktual, Bandung: Cahaya, 1993.
Hasimy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Khaer, Miftahul., Ilmu Takhrij dan Tahqiq al-Hadis, Makalah tidak terbit dipresentasikan pada pelatihan “Metodologi Kritik Hadis” yang diselenggarakan oleh Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Jakarta, 2006.
Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.
Maliki, Muhammad al-Zarqani al-., Syarh al-Manzumat al-Bayquniyyah fi ‘Ilm Musthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Masyari‘: 2001.
Nata, Abuddin., Metodologi Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Qattan, Manna‘ Khalil., Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973.
Rasyid, Daud., Sunnah di Bawah Ancaman; Dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution, Bandung: Syamil, 2006.
Rasyidi, M., Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Saleh, E. Hassan., Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Penerbit ISTN, 1998.
Shihab, M. Quraish., “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
Syibani, Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 5, Mesir: Muassisah Qurthubah, tth.
Umar, Nasaruddin., Ulumul Qur’an: Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi al-Qur’an, vol. 1, Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008.
Yunus, Mahmud., ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra, 1940.
*) Disusun oleh Miftahul Khaer dan dipresentasikan pada mata kuliah Pendekatan Studi Islam tanggal 20 Maret 2009 di kelas Prodi. MPI Program Pascasarjana STAIN Cirebon
0 comments:
Post a Comment